Guru itu Hakim
Guru Itu Hakim yang Kini Kehilangan Palunya
Pada hakikatnya, guru adalah seorang hakim. Hakim dalam dunia pendidikan, yang memiliki kewenangan untuk menilai, mengukur, dan memutuskan hasil belajar anak berdasarkan potensi, kreativitas, dan kemampuan masing-masing. Dalam ruang kelas, guru menjadi pemutus perkara: siapa yang telah menguasai materi, siapa yang perlu bimbingan lebih lanjut, dan siapa yang sudah melampaui standar. Semua itu diputuskan dengan adil, obyektif, dan penuh tanggung jawab.
Namun, hari ini peran guru sebagai hakim sedang diuji. Bukan diuji oleh kemampuan anak semata, melainkan oleh sistem yang menuntut semua anak harus lulus, harus memiliki nilai baik, tanpa memandang proses dan kenyataan di lapangan. Tekanan ini datang bukan hanya dari orang tua, tetapi juga dari kebijakan pemerintah yang terkadang lebih menekankan pada angka kelulusan ketimbang kualitas pembelajaran.
Guru seakan dipaksa untuk memegang "HP yang sudah tidak terbuka lagi" — sebuah kiasan bahwa instrumen penilaian guru kini menjadi tumpul. Guru sulit membedakan mana anak yang sebenarnya kurang, mana yang sedang, dan mana yang unggul. Semuanya dianggap lulus, semuanya dianggap sama.
Hakim Tanpa Wewenang
Ketika guru tidak lagi bisa menegakkan keadilan dalam menilai, maka fungsi guru sebagai hakim mulai kehilangan makna. Putusan-putusan yang mereka buat tidak lagi berdasar pada fakta di lapangan, tetapi pada target-target administratif yang sudah ditentukan sebelumnya. Akibatnya, penilaian menjadi formalitas, bukan lagi hasil dari proses pendidikan yang sesungguhnya.
Ini adalah awal dari kehancuran sistem evaluasi pendidikan. Ketika anak tahu bahwa belajar atau tidak belajar hasilnya tetap sama, motivasi mereka akan hilang. Mereka tidak lagi menghargai proses karena hasil sudah "diatur".
Guru Kehilangan Ketajamannya
Guru, yang seharusnya menjadi agen perubahan, perlahan kehilangan ketajaman perannya. Mereka terjebak dalam sistem yang menuntut angka, bukan kualitas. Anak didik tidak lagi melihat guru sebagai sosok yang memutuskan dengan bijak, melainkan sebagai pelaksana administrasi yang tidak punya pilihan.
Ini bukan kesalahan guru. Ini adalah hasil dari kebijakan yang kurang bijaksana dan budaya yang lebih mementingkan kelulusan massal ketimbang pertumbuhan karakter dan kemampuan yang nyata.
Sudah saatnya sistem pendidikan kembali merevitalisasi peran guru sebagai hakim yang adil. Keadilan dalam pendidikan bukan berarti semua anak harus mendapatkan nilai yang baik, tetapi semua anak mendapatkan penilaian yang sesuai dengan usaha, kemampuan, dan perkembangan masing-masing.
Hanya dengan cara itu, guru bisa kembali menjadi hakim yang berwibawa, dan pendidikan bisa kembali menjadi proses yang bermakna.
0 Komentar:
Posting Komentar
<< Beranda