Social Icons

http://www.youtube.com/user/MrEdysiswanto?

Jumat, Mei 01, 2009

Memaknai Hari Pendidikan Nasional

A. Pendahuluan
Tanggal 2 Mei adalah tanggal lahirnya Bapak Ki Hajar Dewnatara sebagai hari Pendidikan Nasional yang tepatnya lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Beliau sangat terkenal dengan ajarannya yaitu tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Beliaunya juga selalu dihubungkan dengan istilah Tri Pusat Pendidikan yaitu : pendidikan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat.
Sebenarnya tiga faktor itu sudah cukup, namun belum lengkap kalau pemerintah tidak bertanggung jawab secara menyeluruh.
Pondasi pendidikan dasar diberikan oleh orang tua, selanjutnya anak diserahkan pada sekolah secara formal. Dan di masyarakat semua orang harus peduli terhadap pendidikan mereka. Ketiga unsur antara orang tua dan guru serta masyarakat harus mempunyai hubungan dan komunikasi yang erat demi tercapainya tujuan pendidikan yang substansial dan menyeluruh.

B. Pendidikan Sekarang
Bagaimana dengan pendidikan sekarang?. Kenyataan yang ada dunia pendidikan sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Dengan sikap anak yang acuh terhadap belajar, dan sopan santun kepada guru yang sudah hampir punah adalah sebagai pertanda akan hancurnya dunia pendidikan. Bagaimana hal ini bias terjadi?. Tidak seperti Kihajar Dewantara harapkan bahwa ketiga pusat pendidikan sekarang sudah rapuh dan terutama masyarakat yang sudah hilang dari kepeduliannya terhadap pendidikan generasi mereka.
Penulis sering meninjau bagaiman kepedulian para orang tua terhadap pendidikan anaknya ketika menjelang UAN berlangsung. Hampir sebagian besa orang tua ketika waktu anaknya belajar tidak memberikan suasana kondusif bagi belajar anaknya. Kebanyaka dari mereka melihat TV dan tempat belajar anak yang kurang representatif. Dari lampu belajar yang kurang terang, antara ruang belajar dengan orang tua mereka melihat TV masih berdekatan, dan membiarkan anaknya bermain di luar.
Dari segi unggah ungguh atau tata krama (sopan santun) anak jaman sekarang sudah brutal tidak mengenal subo sito (kesopanan). Masih adakah anak yang ketika berjalan dekat orang yang lebih tua, mereka membungkukkan badan dengan berkata amit atau nyuwun sewu atau permisi? Jawabnya ada tapi hampir punah.
Jadi dari segi motivasi untuk berprestai dan kesopanan pada dunia pendidikan kita sudah hampir hilang.
Bagaimana cara mengatasinya?
Kita harus menengok kebelakang sedikit, ketika arah pendidikan hanya memfokuskan pada kepandaian melulu alias IQ. Saat ini dunia pendidikan ketika sudah menginjak kelas 6 SD atau 9 (SMP/MTs) dan 12 untuk SMU sederajat apalagi menjelang UAN, sekolah sudah berubah fungsi menjadi tempat les atau Bimbel (bimbingan belajar). Anak didik hanya dijejeli/diberi makan matematika, bahasa Inggris dan Indonesia serta IPA sampai blenger (kekenyangen). Sehingga di pikiran anak didik hanya terpokus pada empat materi pelajaran tersebut. Mereka dengan keempat pelajaran tersebut lulus maka luluslah mereka dari sekolah.
Dari sini anak akan sangat tidak mempertimbangkan pelajaran yang lain, yang justru pelajaran itu sentuhannya ke arah ESQ (Emotional Spiritual Question) yang akan membawa anak berhasil di masa depan.


Dr Goleman mengatakan
bahwa walaupun organisasinya berbeda, kebutuhannya berbeda, ternyata EQ
menyumbangkan 80-90% untuk memprediksikan keberhasilan dalam organisasi
secara umum. Kami merujuk kepada studi kasus yang dilakukan oleh Dr.
Goleman dan dua peneliti EQ terkenal lain untuk menganalisis bagaimana
kompetensi EQ berkontribusi bagi laba yang didapatkan sebuah firma
akuntansi yang besar. Pertama, IQ dan EQ para partisipan diuji dan
dianalisis secara mendalam; kemudian mereka diorganisasi ke dalam
beberapa kelompok kerja, dan masing-masing kelompok diberi pelatihan
mengenai satu bentuk kompetensi EQ, seperti manajemen-diri dan
ketrampilan sosial; sebagai kontrol adalah satu kelompok yang terdiri
atas orang-orang ber-IQ tinggi. Ketika dilakukan evaluasi nilai-tambah
ekonomi yang diberikan kompetensi EQ dan IQ, hasilnya sangat
mencengangkan. Kelompok dengan ketrampilan sosial tinggi menghasilkan
skor peningkatan laba 110% , sementara yang dibekali manajemen-diri
mencatat peningkatan laba 390%, peningkatan $ 1.465.000 per tahun.
Sebaliknya, kelompok dengan kemampuan kognitif dan analitik tinggi,
yang mencerminkan IQ, hanya menambah laba 50%; artinya, IQ memang
meningkatkan kinerja, tapi secara terbatas karena hanya merupakan
kemampuan ambang. Kompetensi berbasis EQ jelas jauh lebih mendorong
kinerja. Penulis Mohamed El-Kamony adalah mahasiswa yunior American
University di Cairo yang mengambil bidang utama Administrasi Bisnis
dengan konsentrasi ganda dalam pemasaran dan keuangan.

C. Hasil Pendidikan
D. Dampak Pendidikan
E. Penutup

Tidak ada komentar: