Wajah Pendidikan Indonesia

Rabu, April 30, 2025

Ketika Anak Tidak mau Berpikir

 

Ketika Murid Tidak Mau Berpikir: Ketergantungan pada HP dan Kecerdasan Buatan

“Ketika murid tak mau berpikir, semua diserah pada HP dan AI yang mahir.”

Di era digital seperti sekarang, teknologi seakan menjadi sahabat paling setia bagi pelajar. Handphone (HP) ada di genggaman sepanjang waktu, dan kecerdasan buatan (AI) hadir memberi jawaban dalam hitungan detik. Tapi di balik kemudahan itu, muncul satu pertanyaan besar: apakah siswa masih mau berpikir?

Kemudahan yang Menumpulkan Nalar

Tak bisa dipungkiri, AI seperti ChatGPT, Google Bard, atau mesin pencari lainnya sangat membantu dalam belajar. Tugas-tugas bisa selesai lebih cepat, informasi bisa diakses kapan saja. Namun, ketika semua hal langsung dicari tanpa dipahami, proses berpikir kritis jadi terhenti.

Banyak murid yang lebih memilih menyalin jawaban dari internet tanpa membacanya, apalagi memahaminya. Ini bukan hanya tentang kemalasan, tapi juga tentang budaya instan yang makin mengakar: ingin cepat, ingin mudah, tanpa usaha.

HP: Teman atau Tuan?

HP kini lebih dari sekadar alat komunikasi. Ia menjadi guru, teman, hiburan, bahkan ‘penyelamat’ dari tugas-tugas yang sulit. Tapi ketika murid tidak bisa melepaskan diri dari layar, waktunya habis untuk scroll media sosial, bukan untuk membaca buku atau merenung.

HP bisa membantu belajar, tapi jika tidak dikendalikan, justru HP-lah yang mengendalikan.

AI Bukan Pengganti Otak

AI dirancang untuk membantu manusia, bukan menggantikannya. Murid tetap perlu memahami konsep, mengasah logika, dan belajar berpikir mandiri. Ketika semua diserahkan pada mesin, maka kemampuan berpikir perlahan akan tumpul. Murid yang hanya menyalin akan tertinggal jauh dari mereka yang benar-benar mengerti.

Solusi: Kembali pada Proses

Belajar adalah proses, bukan hasil instan. Guru, orang tua, dan murid harus sama-sama menyadari pentingnya proses berpikir. Gunakan HP dan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai satu-satunya jalan. Jangan matikan rasa ingin tahu hanya karena ada teknologi yang “bisa segalanya.”

Teknologi itu netral. Baik-buruknya tergantung siapa yang menggunakannya, dan untuk apa.

Penutup

Generasi cerdas bukanlah mereka yang tahu segalanya, tapi mereka yang mau berpikir, bertanya, dan mencari tahu. Mari jadikan teknologi sebagai jembatan, bukan jalan pintas. Karena pada akhirnya, yang membedakan manusia dan mesin adalah akal—dan akal perlu diasah, bukan digantikan.


Label: ,