Social Icons

http://www.youtube.com/user/MrEdysiswanto?

Jumat, Oktober 30, 2009

Sekolah Terjangkau

Menteri pendidikan kita lebih rasional, namun tidak begitu populer. Dari pada pendidikan gratis yang pada akhirnya mengecewakan masyarakat banyak. Lebih baik pendidikan terjangkau dari pada jargon pendidikan gratis.

Jum'at, 30 Oktober 2009
Opini
[ Jum'at, 30 Oktober 2009 ]
Pendidikan yang Terjangkau
Oleh: Ki Supriyoko

MOHAMMAD Nuh, pria kelahiran Surabaya, 17 Juni 1959, putra pendiri Pondok Pesantren Gununganyar, Surabaya, yang dikenal sebagai seorang intelek sekaligus agamawan itu, akhirnya dipilih oleh Presiden SBY untuk mengemban tugas sebagai menteri pendidikan nasional. Dia pun sudah menancapkan program yang tidak populer tetapi rialistis, yaitu pendidikan yang terjangkau.

Selepas dilantik menjadi menteri pendidikan, Pak Nuh menyatakan, di dalam kepemimpinannya, beliau menginginkan akses pendidikan bisa dinikmati masyarakat luas sehingga biaya pendidikan akan dibuat sedemikian rupa supaya terjangkau oleh masyarakat. Beliau akan berusaha meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, tetapi usaha tersebut akan dibarengi dengan menekan biaya sehingga bisa terjangkau oleh masyarakat luas dari golongan miskin sekalipun.

Latar belakang intelektualitas rasanya mewarnai niat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sementara itu, latar belakang agamawan rasanya mewarnai niat untuk membuka akses pendidikan bagi siapa saja, terutama masyarakat miskin alias dhuafa.

Terkecoh Pendidikan Gratis

Kalau dibandingkan dengan kebijakan pendidikan gratis yang terkesan lebih didominasi kepentingan politis, kebijakan pendidikan terjangkau rasanya lebih tidak populer meski lebih realistis.

Ketika Departemen Pendidikan gencar mempromosikan pendidikan gratis, masyarakat pun menyambut dengan sangat antusias. Banyak keluarga miskin berbunga-bunga membayangkan anaknya bisa menikmati pelayanan pendidikan sampai pendidikan tinggi tanpa dipungut biaya.

Tetapi, akhirnya mereka harus kembali menelan ludah dan merasa terkecoh karena untuk dapat menikmati ''pendidikan gratis" tetap harus mengeluarkan biaya.

Belakangan masyarakat mengerti bahwa kebijakan pendidikan gratis yang tidak ''gratis tis" itu hanya berlaku untuk SD dan SMP negeri. Artinya, siswa SD dan SMP swasta harus tetap membayar seperti sediakala. Siswa SMA dan SMK, baik swasta maupun negeri, juga harus tetap dikenai biaya.

Siswa SD dan SMP negeri pun terkadang masih harus mengeluarkan dana karena yang digratiskan pemerintah hanyalah biaya operasional seperti gaji guru, bahan pendidikan habis pakai, dan sebagainya. Tetapi, sekolah tetap diizinkan menarik biaya investasi seperti membangun gedung dan pengembangan SDM. Di samping itu, orang tua masih harus menanggung biaya personal anaknya seperti pembelian buku, alat tulis, dsb. Alhasil, untuk menikmati pendidikan gratis pun, orang tua masih harus mengeluarkan banyak dana. Ini aneh, tapi nyata!

Harus kita akui bahwa kebijakan pendidikan gratis yang tidak ''gratis tis" tersebut memang telah membantu masyarakat miskin. Tetapi, pemberian label pendidikan gratis kiranya memang tidak tepat, sangat berlebihan, dan terkesan sekadar untuk kepentingan politis.

Kalau kebijakan pendidikan gratis itu dikaitkan dengan pencapaian mutu, rasanya juga perlu ada kajian. Kebijakan pendidikan gratis telah membatasi sarana, fasilitas, dan aktivitas pendidikan. Banyak sekolah yang terpaksa menghentikan kegiatan belajar tambahan yang biayanya ditarik dari orang tua siswa. Meski orang tua tetap bersedia membayar, sekolah takut kalau dikenai sanksi dari Dinas Pendidikan. Alhasil, aktivitas yang positif itu pun terpaksa dimatikan dan prestasi belajar siswa pun menjadi semakin sulit diakselerasi.

Saya memiliki pengalaman konkret yang menarik. Sekarang saya memberikan beasiswa kepada 52 siswa SMP, SMA, dan SMK. Mereka berasal dari keluarga miskin dan biaya hidup mereka kami tanggung. Mereka sama sekali tidak saya pekerjakan, tetapi melulu diminta belajar dan mengaji demi masa depan mereka. Apa yang terjadi? Ternyata sebagian besar anak yang pendidikannya gratis tersebut memiliki prestasi belajar lebih rendah daripada rekan-rekan sekelas yang membayar penuh.

Berbagai studi juga menyatakan demikian; siswa dan mahasiswa gratis terkadang tidak memiliki motivasi berprestasi yang memadai sehingga prestasi belajarnya pun cenderung rendah. Hal itu sangat berbahaya kalau nanti terjadi pada siswa Indonesia gara-gara kebijakan pendidikan gratis.

Pendidikan Terjangkau

Kelemahan konsep pendidikan gratis memang banyak. Konsep itu biasanya hanya diberlakukan di negara yang Gross National Product atau GNP-nya tinggi seperti Inggris dan Jerman. Namun, tak semua negara yang GNP-nya tinggi menggratiskan pendidikan, sebut saja misalnya Jepang dan Amerika Serikat. Secara teoretis, Indonesia yang GNP-nya rendah sangatlah sulit mengaplikasikan konsep pendidikan gratis.

Konsep pendidikan terjangkau kiranya lebih cocok diaplikasikan di negara kita. Dalam konsep ini, semua anggota masyarakat dapat menjangkau pelayanan pendidikan menurut kemampuan masing-masing. Keluarga kaya (the have) menjangkau dengan kekuatan besar atau iuran yang banyak; dan sebaliknya, keluarga miskin (the have not) menjangkau dengan kekuatan kecil atau iuran yang sedikit. Kalau perlu, yang tidak berkemampuan sama sekali (the ability not) menjangkau pendidikan tanpa membayar iuran.

Jadi, jelaslah bahwa di dalam konsep pendidikan terjangkau ada subsidi silang, yang kaya membantu yang miskin tanpa masyarakat miskin tersinggung perasaannya.

Mari kita dukung implementasi konsep pendidikan terjangkau tersebut demi merata dan meningkatnya mutu pendidikan nasional kita.

*) Prof Dr H Ki Supriyoko SDU, MPd adalah direktur Pascasarjana Universitas Tamansiswa Jogjakarta, wakil presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE), serta pengasuh Pesantren ''Ar-Raudhah" Jogjakarta


Tidak ada komentar: