Social Icons

http://www.youtube.com/user/MrEdysiswanto?

Rabu, Maret 18, 2009

Jawa Pos dan Artikel Untukmu Guruku


Inilah artikelku yang dimuat dalam rangka meningkatkan gemar menulis dikalangan guru dalam UNTUKMU GURUKU

UAN, Kenapa Standar Lulus Belum 6
Oleh : Edy Siswanto, Kepala SMPN 1 Takeran, Magetan

UAN (ujian akhir nasional) kembali menjelang. Akankah UAN kali ini masih menimbulkan banyak permasalahan? Masih terngiang ditelinga kita, UAN ternoda oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Dengan ambisi meloloskan peserta didiknya 100 persen, sekolah melakukan berbagai usaha.

Bahkan, racun pun diberikan tanpa memperhatikan efek negatifnya. Racun tersebut bermacam-macam. Ada yang membiarkan menyontek, bebas bertanya, SMS lintas sekolah, mencuri naskah, juga bantuan dari pihak lain. Semua berujung ingin menaikkan harga diri, meski mengorbankan kejujuran.

Sebetulnya, untuk mengurangi kecurangan saat pelaksanaan UAN, pemerintah sudah berusaha membuat dua bentuk soal berbeda dengan pengaturan tempat berbeda pula. Itu ditambah pelibatan polisi dan tim pemantau independen (TPI).

Keberadaan TPI mengidikasikan ketidakpercayaan pemerintah tehadap dunia pendidikan. Namun, dalam praktik, mereka belum berani mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi selama pelaksanaan UAN. Atau, jangan-jangan mereka tak mau tahu. Kalau itu yang terjadi, TPI hanya akan menghamburkan uang yang mestinya bisa digunakan untuk pembiayaan UAN.

Dalam pertemuan kedinasan, berkali-kali Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Dr Rasiyo berkata, ''Jangan ada dusta di antara kita.'' Menyongsong perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap pendidikan, imbauan tersebut mestinya menjadi prioritas. Dusta yang kita lakukan akan berbuah racun bagi siswa. Demi menjunjung tinggi pelaksanaan UAN yang jujur, mengapa soal UAN tak dibuat 10 atau bahkan 20 paket soal berbeda?

Para pendidik bangga dengan standar kelulusan yang terus meningkat. Pada awal diluncurkan, rata-rata UAN disyaratkan 3,01. Lalu, meningkat menjadi 4,01 dan tahun lalu 5,25. Tahun ini, kabarnya, rata-rata nilai naik menjadi 5,50, tapi boleh ada dua nilai 4 di antara empat mata pelajaran yang diujikan.

Mengapa standar kelulusan belum 6? Takutkah kita? Kalau kita menghargai perbedaan, pemerintah mestinya berani membuat standar kelulusan rata-rata 6, dengan catatan tidak ada nilai mati. Tampaknya, rata-rata 6 dengan tidak ada nilai mati lebih ringan daripada rata-rata 5,50 dengan tidak ada nilai di bawah empat (4,00). Sebab, dengan standar sekarang, anak yang mendapat nilai rata-rata 6 tetap tidak lulus jika ada nilai 3,98.

Dari hati yang paling dalam, penulis mengajak semua menghargai perbedaan individu. Tiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Sejelek-jelek seseorang, dia pasti punya kebagusan. Demikian pula, sebaik-baik seseorang, dia pasti punya kekurangan.

Mengapa orang kita harus disamakan? Apakah mereka yang berbakat seni juga harus jago matematika? Mengapa anak yang mahir berbahasa harus mahir pula IPA dan matematika?

Kalau kebetulan kita punya anak didik yang bisa menguasai semua bidang studi dengan baik, alangkah komplet dan hebatnya anak tersebut. Tapi, sekali lagi, mengapa harus disamakan anak yang berbakat olahraga, pertanian, kesenian, kedokteran, permesinan, dan sebagainya? Seperti dikatakan Gus Dur (Jawa Pos, 30/12/2008), ''Bangsa ini tak hargai perbedaan. Bangsa ini masih dibelit krisis identitas. Penghargaan terhadap perbedaan dan keberagaman (pluralisme) masih rendah. Padahal, pluralisme bukan barang impor, tapi sesuatu yang sudah biasa di masyarakat Indonesia sejak dulu.'' (soe)

[ Jawa Pos. Rabu, 18 Maret 2009 ]

2 komentar:

Dyah mengatakan...

Selamat ya pak artikelnya masuk Koran Jawa Pos.
Tentang ujian nasional kalau menurut aku yang salah itu ya pemerintah. Dari standar 3,01, 40.1, 5,25 dan 5,5 mereka sudah tahu bahwa yang lulus mesti kisaran 60 %. Tapi mereka memaksa. Dengan alasan meningkatkan SDM SDM yang mana yang meninkat mutunya.

Mari kita telusuri pada waktu standartnya 3.01 dengan bangganya sekolah tidak meluluskan siswanya, dinaikan menjadi 4,01 dan 4,25 yang tidak lulus bukan main tambah banyak, tapi sekolah dengan bangga dengan hasil itu mereka boleh menggulang sebetulnya dengan mengulang, kita semua tahu bahwa kemampuan anak ini tidak empat bidang yang di ujikan, dan dengan mengulang bisa sebagai motivasi untuk lebih giat belajar, dan ada budaya malu.

Welleh ... welleh Standar terus meningkat 5.25 hasil ujiannya 100 % terus dengan nilai fantatis .... siapa yang salah ? ..... Kita semua. Dengan UAN kita mencetak generasi pembohong, generasi yang tidak punya malu, generasi yang meremehkan mutu.

Yang berkecamuk dihati kecilku akankah keadaan ini diteruskan ?

Selamat berjuang, selamat berkarya

Study For a Better Life mengatakan...

aku hanya bisa berteriak untuk jujur dan bahkan ke siapapun aku temui apalagi tokoh pendidikan akau selalu ngajak jujur-jur...jur
tapi mari bu kita berjuang demi anak bangsa kita

moga sukses amin