[ Minggu, 29 November 2009 ]
Mendiknas Tegaskan, Unas Bukan Satu-satunya Penentu Kelulusan Siswa
Nuh: Tetap Butuh Nilai Ujian Sekolah
SURABAYA - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M. Nuh menegaskan, ujian nasional (unas) bukanlah satu-satunya penentu kelulusan siswa. Penentu kelulusan yang lain adalah penilaian ujian yang dilakukan sekolah masing-masing.
Pernyataan itu disampaikan Nuh di Surabaya, di tengah situasi pro dan kontra apakah unas tahun depan dibatalkan atau diteruskan, setelah turun keputusan Mahkamah Agung (MA). "Walaupun nilai unas 10, tapi nilai ujian sekolahnya jeblok, ya tidak bisa lulus," kata Nuh ketika menggelar jumpa pers di Hotel Mercure Mirama, Surabaya, kemarin (28/11).
Nuh menambahkan, yang menentukan kelulusan siswa ada dua, yakni ujian yang dilaksanakan sekolah dan unas. Menurut pria asal Surabaya itu, dulu ada seorang anak yang punya persoalan moral. Meski nilai unasnya bagus, anak itu tetap tidak lulus. "Nilai dari sekolah juga sangat menentukan, jadi bukan unas saja," terangnya.
Nuh mengakui, memang selama ini muncul anggapan yang sangat kuat di masyarakat bahwa unas menjadi satu-satunya penentu kelulusan. Anggapan itu wajar muncul. Sebab, dalam kenyataannya, 90 persen anak yang tidak lulus, disebabkan nilai unasnya jeblok. "Itu fakta yang ada," jelasnya.
Mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu menjelaskan, kualitas unas ditentukan oleh dua hal. Yakni, materi unas dan penyelenggaraan. Materi yang diujikan harus sesuai mata pelajaran yang diajarkan. Bobot soal juga sesuai jenjang pendidikan siswa. Jika materi unas sudah terpenuhi, tinggal pelaksanaannya. Nuh mengatakan, kalau penyelenggaraan bagus, kualitas unas akan terjamin. Sebaliknya, jika pelaksanaan jeblok, kualitasnya juga menjadi buruk.
Pelaksanaan unas juga tidak berkaitan antara siswa di perkotaan dan pedesaan. Dia mengatakan, perbedaan pasti ada di antara siswa. Tidak perlu membedakan antara desa dan kota. Di antara siswa satu sekolah saja sudah banyak berbeda, apalagi siswa di desa dan di kota. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah menetapkan nilai kelulusan unas bukan 8, 7, atau 6, tapi 5,5. Itu disesuaikan dengan standar minimal. "Nilainya pas juga masih bisa lulus," jelasnya.
Nuh juga merespons pihak-pihak yang menginginkan nilai unas hanya dijadikan pemetaan kualitas pendidikan. Menurut dia, jika hasil unas hanya dijadikan bahan pemetaan, akan terjadi conflicting data. Jika nilai unas 7 dan nilai ujian sekolah 9, terjadi kontraproduktif. "Terus mana yang benar?" katanya. Jadi, tidak tepat jika unas dijadikan pemetaan saja.
Mantan direktur PENS-ITS itu mengatakan, yang paling penting sekarang adalah mengajak masyarakat mendukung penyelenggaraan unas. Orang tua siswa, murid, dan guru harus mendukung terselenggaranya unas. "Tidak usah memperdebatkan unas jadi atau tidak. Sebab, dalam amar putusan PN Jakarta tidak ada poin yang melarang terselenggaranya unas," ucap Nuh.
Menurut Nuh, sebelum membahas masalah tersebut, harus paham duduk permasalahannya. Sebagaimana diberitakan, dalam salinan putusan PN Jakarta Pusat tidak ada poin yang melarang pelaksanaan unas. Putusan di tingkat PN ini lantas dikuatkan di tingkat PT (pengadilan tinggi), lalu di tingkat Mahkamah Agung (MA).
"Terus dari mana dasarnya orang yang mengatakan MA melarang pelaksanaan unas? Apalagi, saya lihat di salah satu media ditulis MA stop unas," ujarnya. Nuh mengatakan, apakah yang mengatakan seperti itu sudah membaca putusan MA. "Saya sampai sekarang saja belum menerima salinan putusan tersebut," jelasnya.
Apakah permasalahan itu tidak mengganggu pelaksanaan unas tahun depan? Menurut Nuh, itu masalah teknis yang menjadi tanggung jawab Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). "BSNP nanti yang mengatur penyelenggaraan UN," terangnya.
Naskah Unas Siap Dicetak
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas bersama BSNP terus mematangkan pelaksanaan unas meski putusan MA seputar kasasi penolakan ujian itu masih menimbulkan perdebatan. Bahkan, naskah soal unas sudah jadi dan tinggal dicetak.
Kepala Balitbang Depdiknas Mansyur Ramli mengatakan, putusan MA tentang unas tidak berpengaruh terhadap penyusunan naskah soal. Soal-soal tersebut sudah disusun. Penyusunannya dilakukan guru, dosen perguruan tinggi (PT), dan pakar pendidikan. Setelah soal disusun, Balitbang menyerahkannya kepada BSNP untuk diujicobakan. Kemudian, soft copy soal diserahkan ke perguruan tinggi untuk dicetak. ''Kami sedang berkoordinasi dengan majelis rektor perguruan tinggi negeri (MRPTN). Sebab, tahun ini yang menangani pencetakan hingga pendistribusian soal adalah perguruan tinggi,'' jelasnya kemarin. Dengan selesainya penyusunan soal, kata Mansyur, tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakan ujian tersebut.
Mansyur menjelaskan, soal unas 2010 standar dengan soal 2009. Tingkat kesulitan soal unas hampir sama dengan tahun ini. Hal itu disesuaikan dengan kemampuan siswa. Sebab, berdasar studi penelitian yang dilakukan Balitbang, sarana prasarana dan mutu pendidik saat ini belum mampu mendorong kemampuan peserta didik untuk menerima tingkat kesulitan soal yang lebih tinggi. ''Memang sudah ada peningkatan guru serta sarana dan prasarana, namun masih kami sesuaikan dengan kemampuan siswa,'' jelasnya. Tingkat kesulitan soal bakal dinaikan untuk unas 2011.
Karena tingkat kesulitan soal sama dengan tahun lalu, Depdiknas berharap target kelulusan unas meningkat. Apalagi, standar nilai minimal rata-rata unas 2010 sama dengan tahun ini alias tidak ada kenaikan. Yaitu, 5,5.
Tahun lalu tingkat kelulusan peserta didik untuk jenjang SMA mencapai 90 persen. Paling tidak, kata Mansyur, target kelulusan bisa mencapai 92 persen. Demikian pula target kelulusan untuk jenjang SMP juga dinaikkan dua persen.
Balitbang mengimbau seluruh provinsi agar segera mengirimkan data peserta unas ke Depdiknas. Sebab, jumlah tersebut bakal disesuaikan dengan pencetakan naskah soal. Pada Januari 2010, jumlah pasti peserta unas harus kelar.
Dia menambahkan, anggaran penyelenggaraan unas juga sudah disiapkan. Menurut dia, anggaran unas 2010 tidak jauh berbeda dengan tahun ini. Yaitu, sekitar Rp 500 miliar. Anggaran sebesar itu untuk unas (SMP dan SMA) dan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Biaya itu digunakan untuk persiapan ujian, penyusunan naskah soal, pencetakan soal hingga lembar jawaban unas (LJUN), dan pengawasan ujian.
Dengan persiapan tersebut, Mansyur berharap sekolah dan siswa siap menghadapi unas. Dia mengimbau masyarakat, terutama siswa, agar tidak terpengaruh terhadap putusan MA. ''Saya khawatir putusan itu berpengaruh terhadap psikologis siswa. Bahayanya, jika siswa menganggap ujian itu tidak jadi dan saya khawatir mereka tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ujian tersebut,'' jelasnya.
Anggota BSNP Prof Mungin Eddy Wibowo mengimbau sekolah agar tidak mengkhawatirkan soal unas. Sebab, naskah soal disesuaikan dengan kisi kurikulum 1994 maupun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dipakai sekolah. ''Kita ambil sesuai SKL (standar kompetensi lulusan, Red). Jadi, ini sesuai kurikulum sekolah,'' ungkapnya.
Menanggapi kengototan pihak Depdiknas, anggota Komisi X dari FPKB Hanif Dhakiri sangat menyesalkannya. Menurut dia, jika dipaksakan, unas hanya akan menjadi beban bagi siswa dan lembaga penyelenggara pendidikan. "Bagi pemerintah sendiri juga berat, lantaran anggaran yang besar ternyata tidak menjamin kualifikasi lulusan," katanya. (lum/kit/dyn/kum)
Jawa Pos
SURABAYA - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M. Nuh menegaskan, ujian nasional (unas) bukanlah satu-satunya penentu kelulusan siswa. Penentu kelulusan yang lain adalah penilaian ujian yang dilakukan sekolah masing-masing.
Pernyataan itu disampaikan Nuh di Surabaya, di tengah situasi pro dan kontra apakah unas tahun depan dibatalkan atau diteruskan, setelah turun keputusan Mahkamah Agung (MA). "Walaupun nilai unas 10, tapi nilai ujian sekolahnya jeblok, ya tidak bisa lulus," kata Nuh ketika menggelar jumpa pers di Hotel Mercure Mirama, Surabaya, kemarin (28/11).
Nuh menambahkan, yang menentukan kelulusan siswa ada dua, yakni ujian yang dilaksanakan sekolah dan unas. Menurut pria asal Surabaya itu, dulu ada seorang anak yang punya persoalan moral. Meski nilai unasnya bagus, anak itu tetap tidak lulus. "Nilai dari sekolah juga sangat menentukan, jadi bukan unas saja," terangnya.
Nuh mengakui, memang selama ini muncul anggapan yang sangat kuat di masyarakat bahwa unas menjadi satu-satunya penentu kelulusan. Anggapan itu wajar muncul. Sebab, dalam kenyataannya, 90 persen anak yang tidak lulus, disebabkan nilai unasnya jeblok. "Itu fakta yang ada," jelasnya.
Mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu menjelaskan, kualitas unas ditentukan oleh dua hal. Yakni, materi unas dan penyelenggaraan. Materi yang diujikan harus sesuai mata pelajaran yang diajarkan. Bobot soal juga sesuai jenjang pendidikan siswa. Jika materi unas sudah terpenuhi, tinggal pelaksanaannya. Nuh mengatakan, kalau penyelenggaraan bagus, kualitas unas akan terjamin. Sebaliknya, jika pelaksanaan jeblok, kualitasnya juga menjadi buruk.
Pelaksanaan unas juga tidak berkaitan antara siswa di perkotaan dan pedesaan. Dia mengatakan, perbedaan pasti ada di antara siswa. Tidak perlu membedakan antara desa dan kota. Di antara siswa satu sekolah saja sudah banyak berbeda, apalagi siswa di desa dan di kota. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah menetapkan nilai kelulusan unas bukan 8, 7, atau 6, tapi 5,5. Itu disesuaikan dengan standar minimal. "Nilainya pas juga masih bisa lulus," jelasnya.
Nuh juga merespons pihak-pihak yang menginginkan nilai unas hanya dijadikan pemetaan kualitas pendidikan. Menurut dia, jika hasil unas hanya dijadikan bahan pemetaan, akan terjadi conflicting data. Jika nilai unas 7 dan nilai ujian sekolah 9, terjadi kontraproduktif. "Terus mana yang benar?" katanya. Jadi, tidak tepat jika unas dijadikan pemetaan saja.
Mantan direktur PENS-ITS itu mengatakan, yang paling penting sekarang adalah mengajak masyarakat mendukung penyelenggaraan unas. Orang tua siswa, murid, dan guru harus mendukung terselenggaranya unas. "Tidak usah memperdebatkan unas jadi atau tidak. Sebab, dalam amar putusan PN Jakarta tidak ada poin yang melarang terselenggaranya unas," ucap Nuh.
Menurut Nuh, sebelum membahas masalah tersebut, harus paham duduk permasalahannya. Sebagaimana diberitakan, dalam salinan putusan PN Jakarta Pusat tidak ada poin yang melarang pelaksanaan unas. Putusan di tingkat PN ini lantas dikuatkan di tingkat PT (pengadilan tinggi), lalu di tingkat Mahkamah Agung (MA).
"Terus dari mana dasarnya orang yang mengatakan MA melarang pelaksanaan unas? Apalagi, saya lihat di salah satu media ditulis MA stop unas," ujarnya. Nuh mengatakan, apakah yang mengatakan seperti itu sudah membaca putusan MA. "Saya sampai sekarang saja belum menerima salinan putusan tersebut," jelasnya.
Apakah permasalahan itu tidak mengganggu pelaksanaan unas tahun depan? Menurut Nuh, itu masalah teknis yang menjadi tanggung jawab Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). "BSNP nanti yang mengatur penyelenggaraan UN," terangnya.
Naskah Unas Siap Dicetak
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas bersama BSNP terus mematangkan pelaksanaan unas meski putusan MA seputar kasasi penolakan ujian itu masih menimbulkan perdebatan. Bahkan, naskah soal unas sudah jadi dan tinggal dicetak.
Kepala Balitbang Depdiknas Mansyur Ramli mengatakan, putusan MA tentang unas tidak berpengaruh terhadap penyusunan naskah soal. Soal-soal tersebut sudah disusun. Penyusunannya dilakukan guru, dosen perguruan tinggi (PT), dan pakar pendidikan. Setelah soal disusun, Balitbang menyerahkannya kepada BSNP untuk diujicobakan. Kemudian, soft copy soal diserahkan ke perguruan tinggi untuk dicetak. ''Kami sedang berkoordinasi dengan majelis rektor perguruan tinggi negeri (MRPTN). Sebab, tahun ini yang menangani pencetakan hingga pendistribusian soal adalah perguruan tinggi,'' jelasnya kemarin. Dengan selesainya penyusunan soal, kata Mansyur, tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakan ujian tersebut.
Mansyur menjelaskan, soal unas 2010 standar dengan soal 2009. Tingkat kesulitan soal unas hampir sama dengan tahun ini. Hal itu disesuaikan dengan kemampuan siswa. Sebab, berdasar studi penelitian yang dilakukan Balitbang, sarana prasarana dan mutu pendidik saat ini belum mampu mendorong kemampuan peserta didik untuk menerima tingkat kesulitan soal yang lebih tinggi. ''Memang sudah ada peningkatan guru serta sarana dan prasarana, namun masih kami sesuaikan dengan kemampuan siswa,'' jelasnya. Tingkat kesulitan soal bakal dinaikan untuk unas 2011.
Karena tingkat kesulitan soal sama dengan tahun lalu, Depdiknas berharap target kelulusan unas meningkat. Apalagi, standar nilai minimal rata-rata unas 2010 sama dengan tahun ini alias tidak ada kenaikan. Yaitu, 5,5.
Tahun lalu tingkat kelulusan peserta didik untuk jenjang SMA mencapai 90 persen. Paling tidak, kata Mansyur, target kelulusan bisa mencapai 92 persen. Demikian pula target kelulusan untuk jenjang SMP juga dinaikkan dua persen.
Balitbang mengimbau seluruh provinsi agar segera mengirimkan data peserta unas ke Depdiknas. Sebab, jumlah tersebut bakal disesuaikan dengan pencetakan naskah soal. Pada Januari 2010, jumlah pasti peserta unas harus kelar.
Dia menambahkan, anggaran penyelenggaraan unas juga sudah disiapkan. Menurut dia, anggaran unas 2010 tidak jauh berbeda dengan tahun ini. Yaitu, sekitar Rp 500 miliar. Anggaran sebesar itu untuk unas (SMP dan SMA) dan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Biaya itu digunakan untuk persiapan ujian, penyusunan naskah soal, pencetakan soal hingga lembar jawaban unas (LJUN), dan pengawasan ujian.
Dengan persiapan tersebut, Mansyur berharap sekolah dan siswa siap menghadapi unas. Dia mengimbau masyarakat, terutama siswa, agar tidak terpengaruh terhadap putusan MA. ''Saya khawatir putusan itu berpengaruh terhadap psikologis siswa. Bahayanya, jika siswa menganggap ujian itu tidak jadi dan saya khawatir mereka tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ujian tersebut,'' jelasnya.
Anggota BSNP Prof Mungin Eddy Wibowo mengimbau sekolah agar tidak mengkhawatirkan soal unas. Sebab, naskah soal disesuaikan dengan kisi kurikulum 1994 maupun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dipakai sekolah. ''Kita ambil sesuai SKL (standar kompetensi lulusan, Red). Jadi, ini sesuai kurikulum sekolah,'' ungkapnya.
Menanggapi kengototan pihak Depdiknas, anggota Komisi X dari FPKB Hanif Dhakiri sangat menyesalkannya. Menurut dia, jika dipaksakan, unas hanya akan menjadi beban bagi siswa dan lembaga penyelenggara pendidikan. "Bagi pemerintah sendiri juga berat, lantaran anggaran yang besar ternyata tidak menjamin kualifikasi lulusan," katanya. (lum/kit/dyn/kum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar