Hampir setiap hari kita mendengar dan melihat berita di televisi dan media masa mengenai penyelidikan dan penahanan para aparat negara baik dari bupati, gubernur, menteri dan DPRpun tidak luput dari kejaran KPK. Berdasarkan kondisi demikian, maka dunia pendidikan harus tanggap untuk mempersiapkan peserta didiknya menjadi generasi anti korupsi, dengan membuat sepuluh atau dua puluh paket soal UAN.
Ketika kita mendengar pelaksanaan UAN pada jenjang setingkat SMU, masih banyak para guru dan kepala sekolah yang ingin membantu anak didiknya untuk lulus ujian. Belasan Kasek sembunyikan soal cadangan untuk buat kunci jawaban dan akhirnya kepergok membocorkan soal ujian nasional (Unas), 16 kepala sekolah tingkat SMA/MA se-Kabupaten Bengkulu Selatan tersebut ditangkap polisi. Tak hanya mereka, tujuh guru yang ikut menjadi panitia Unas juga ditangkap. Penangkapan dilakukan Minggu (19/4) sekitar pukul 14.30 WIB di SMAN 1 Kota Manna (Jawa Pos,21 April 2009). Apakah selamanya UAN akan seperti ini terus??..dan selalu banyak menimbulkan permasalahan? Dari tahun ke tahun masalah tersebut selalu muncul dan tidak ada tindakan yang mengakibatkan jera bagi guru dan kepala sekolah untuk tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji.
Jangan hanya mengejar ambisi untuk meloloskan peserta didiknya 100%, sehingga berbagai usaha telah dilakukan, bahkan jabatan dan sumpahpun dengan mudahnya dilanggar. Saat ini sudah saatnya untuk berani mengedepankan kejujuran dari pada harga diri.
Apakah kita tidak ngeri jika kelulusan dari sebagian besar satuan pendidikan selalu 100%, sehingga terdengar syair berdarah dari anak didik kita yaitu: ”tidak belajar saja naik kelas apalagi belajar. tidak belajar saja lulus apalagi belajar”.
Seandainya soal UAN 10/20 paket, tidak hanya murid, guru, kepala sekolah dan orang tuapun akan takut dengan ketidak lulusan, bahkan pemerintah sendiri ketakutan apabila peserta didik di negeri ini banyak yang tidak lulus ujian. Apakah kita masih teringat UN (Ujian Nasional) tahun 2004, munculnya konversi gara-gara banyak peserta didik yang tidak lulus. Bentuk konversinya jika siswa menjawab benar kurang dari separo jumlah soal, nilainya didongkrak. Sebaliknya, jika siswa mampu menjawab benar lebih dari separo jumlah soal, nilainya dikurangi (Jawa Pos, 2 Juli 2004).
Kejujuran UAN, akan meningkatkan kualitas pendidikan secara mendasar dan sesungguhnya. Dari sinilah roh pendidikan akan mulai muncul dan menampakkan kualitasnya. Jangan berharap pendidikan kita akan berkualitas kalau kita masih mengedepankan harga diri dari pada kejujuran. Satu satunya untuk mempercepat kualitas pendidikan adalah membuat naskah UAN 10 atau bahkan 20 paket soal yang berbeda.
Mengapa saat ini soal UAN belum 10 atau 20 paket?. Penulis sendiri juga bertanya: kapan soal yang saat ini sudah dua paket yaitu: Paket A dan B, tidak berlanjut ke Paket C sampai J (10 paket), bahkan sampai Paket S (20 paket soal)?. Ada kabar yang menggembirkana ketika paket soal akan dibuat 10, namun kenyataannya UAN tahun ini masih dua paket. Jadi pemerintah sendiri masih takut dengan yang namanya ”harga diri”. Apakan di negeri ini masih banyak orangyang mengedepankan harga diri dari pada kejujuran. Untuk sebuah kejujuran UAN, pemerintah sudah berusaha untuk membuat dua (2) bentuk soal yang berbeda, dengan pengaturan tempat yang berbeda pula, dan masih belum percaya lagi ditambah polisi dan TPI. Sudah berkali-kali dalam pertemuan kedinasan, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Bapak Dr.Rasiyo berkata ”Jangan Ada Dusta Diantara Kita” Maka untuk menyongsong perhatian pemerintah yang begitu besar terhadap dunia pendidikan apalagi anggaran pendidikan sekarang sudah 20%.
Setelah pelaksanaan UAN dengan 20 paket soal, maka roh pendidikan akan kembali seperti jaman dulu dan kemungkinan prosntase angka ketidak lulusan sampai 40%. Masih terasa ketika prosesi kenaikan kelas, para siswa hatinya berdebar-debar, apalagi melihat pengumuman kelulusan bisa senam jantung dibuatnya. Sekolah bersama warga sekolah akan semakin giat dalam mempersiapankan UAN sampai tuntas. Dengan berbagai program akan dilaksanakan untuk menuntaskan peserta didiknya dalam menjalani UAN. Tidak mau kalah ketinggalan, masyarakatpun akan tergugah untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi warga dilingkungannya masing-masing.
TPI
Keberadaan Tim Pemantau Independen merupakan bentuk ketidakpercayaan pemerintah tehadap dunia pendidikan. Pada awalnya, perekrutan tim ini juga nampak sekenanya. Ada mahasiswa, ada pejabat kelurahan atau kecamatan, ada juga dosen, atau yang lainnya, sehingga sampai saat ini keberadaan TPI belum begitu berarti. Mereka belum berani mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi selama proses pelaksanaan UN, atau mungkin mereka seolah-olah tak mau tahu.
TPI hanya akan menambah dan menghamburkan uang yang mestinya bisa digunakan untuk pembiayaan UAN. Untuk tahun ini Penyelenggaraan unas, telah menghabiskan anggaran cukup besar. Khusus penyelenggaraan UASBN, dana yang digelontorkan pemerintah mencapai Rp 59,5 miliar, sedangkan untuk unas SMP/MTs/SMA/MA mencapai Rp 296,9 miliar. Anggaran untuk pengawas dan tim pemantau independen mencapai Rp 83 miliar (Jawa Pos, 14 April 2009). Uang sebesar itu tidak perlu dikeluarkan jika soal UAN dibuat 10 atau 20 paket yang berbeda, maka TPI tidak diperlukan. Pengawaspun semakin ringan, karena dijamin tidak akan saling menyontek. Sedangkan pihak pendonor jawabanpun, akan kerepotan dan menyerah untuk tidak membantu peserta didiknya.
Segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengukur kualitas pendidikan di negara kita yang tercinta ini, tidak akan berhasil tanpa ada kejujuran dibaliknya. Bahkan tanpa kejujuran akan meracuni peserta didik sekaligus menghancurkan generasi penerus mendatang.
Demi menjunjung kehormatan pendidikan di Indonesia yang tercinta ini pemerintah harus berani mengambil kebijakan untuk membuat 10 atau 20 paket/jenis soal yang berbeda, sehingga nilai yang diperoleh, betul-betul merupakan hasil keringat siswa sendiri bukan mengkorupsi dari orang lain
Ketidak jujuran harus dibasmi sedini mungkin, kapan lagi kalau tidak mulai sekarang, dan siapa lagi kalau bukan kita.
Pendidikan harus berubah. Terutama pada proses pembelajaran yang merupakan jantungnya pendidikan, sehingga pendidikan mendatang semakin berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar