Setiap murid memiliki kecerdasan majemuk. Artinya, mereka diciptakan oleh Allah dengan potensi dan keunikan yang berbeda-beda. Ada yang cepat dalam berpikir logis, ada yang menonjol dalam seni dan rasa, ada pula yang unggul dalam empati, gerak, atau komunikasi. Semua adalah anugerah dari Allah yang menandakan betapa indahnya keberagaman ciptaan-Nya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi serta berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
(QS. Ar-Rum: 22)
Namun, ketika seorang guru mengajar tanpa memperhatikan perbedaan itu, sejatinya ia telah tidak memanusiakan manusia. Mengajar bukan sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga memahami siapa yang diajar.
Guru sejatinya seperti dalang dalam pertunjukan wayang. Setiap tokoh wayang memiliki karakter dan gaya bicara berbeda, dan sang dalang harus mampu menyesuaikan suara, nada, serta ekspresinya agar semua tokoh hidup dengan perannya masing-masing. Begitulah guru — ia harus bisa berbicara dengan “bahasa” setiap murid, karena tiap anak memiliki dunia dan cara belajar yang unik.
Menjadi guru memang berat. Ia dituntut untuk multi talenta, sabar, kreatif, dan berhati lembut. Ia bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing, penyemangat, dan penuntun jiwa.
Maka, guru tidak cukup hanya hebat dalam ilmu, tetapi harus super dalam sikap dan kasih sayang. Karena ilmu tanpa kelembutan tidak akan menyentuh hati, dan bimbingan tanpa cinta tidak akan melahirkan perubahan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala urusan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Guru super adalah mereka yang mengajar dengan hati, mendidik dengan kasih, dan melihat setiap murid sebagai amanah, bukan sekadar peserta didik. Dari tangan merekalah lahir generasi yang beradab, berilmu, dan berakhlak mulia.

Komentar