Mau dibawa Kemana Anak Didik Kita?
Sejak dulu, pendidikan kita seperti berjalan gontai, seakan tanpa arah yang jelas. Anak-anak dijejali teori yang sama rata, sama rasa, tanpa mempertimbangkan potensi dan perbedaan yang mereka miliki. Kurikulum yang begitu padat—ibarat pil 42 butir yang harus ditelan setiap minggu—membuat anak didik justru terbebani.
Pertanyaannya, apakah semua anak Indonesia harus punya masa depan yang sama? Apakah mereka harus dipaksa menempuh jalur profesi yang seragam, padahal setiap anak memiliki bakat dan minat yang berbeda?
Jika kita mau jujur, banyak negara lain memiliki kurikulum yang lebih sederhana, namun justru berhasil mencetak generasi unggul. Kualitas pendidikan mereka berbanding lurus dengan kemajuan negaranya. Lalu, ada apa dengan pendidikan kita?
Syukurlah, perubahan mulai terasa. Dengan dihapusnya Ujian Nasional (UN), sekolah kini lebih leluasa mengembangkan program sesuai kebutuhan anak didik dan lingkungannya. Inilah semangat Merdeka Belajar: memanusiakan manusia, memberi ruang agar potensi anak berkembang dengan bebas.
Sekolah tidak lagi sekadar tempat menghafal, tetapi menjadi rumah yang memberi pelayanan sesuai bakat, minat, dan kemampuan siswa. Anak-anak berhak merasa bangga dengan kemampuannya masing-masing, bukan sekadar menjadi penyalin jawaban dari kurikulum yang kaku.
Merdeka Belajar menuntut sekolah untuk jeli, kreatif, dan berani mencari "jurus-jurus" terbaik dalam mendidik. Sebab tujuan pendidikan bukan lagi melahirkan lulusan seragam, melainkan pribadi-pribadi unik yang siap berkontribusi sesuai potensinya.
Kini, saatnya kita bertanya: apakah sekolah-sekolah kita sudah benar-benar memerdekakan anak didik, atau masih terjebak dalam pola lama?
Komentar