Oleh: Drs. Edy Siswanto, M.Pd.
Pendidikan kita masih menghadapi masalah serius. Dana BOS yang minim menunjukkan betapa bangsa ini belum benar-benar adil dan bijak dalam memperhatikan sektor pendidikan. Dampaknya, generasi sekarang lebih bangga berbuat salah daripada menjunjung budi pekerti.
Padahal, kalau kita ingin hidup tenteram dan aman di masa depan, pendidikan harus menjadi perhatian utama. Guru bukan sekadar fasilitator, tetapi juga berperan sebagai ustadz. Sekolah ibarat pondok, siswa sebagai santri, dan guru menjadi teladan akhlak.
Implementasi Guru sebagai Ustadz
Guru bisa memulai dari hal sederhana: memberikan nasihat singkat (kultum/kulim) di awal pelajaran. Tidak harus selalu ayat atau hadis, bahkan kebiasaan kecil—seperti berpamitan sebelum berangkat, berdoa sebelum belajar, atau mencuci tangan sebelum makan—sudah menjadi pendidikan karakter yang penting.
Jika semua guru melakukan ini, ranah afektif siswa akan lebih mudah terbentuk. Generasi mendatang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia, mampu memecahkan masalah, dan siap bersaing di tingkat global.
Pendidikan Bukan Barang Mati
Pendidikan bukan sekadar mengajar ilmu, tetapi membentuk tunas bangsa. Generasi yang lahir dari pendidikan harus berilmu, berteknologi, punya life skill, bermental juara, serta berakhlak luhur.
Bayangkan bila sekolah kita seperti pondok: gurunya ustadz, siswanya santri, suasananya penuh nilai moral. Tentu Tujuan Pendidikan Nasional akan lebih cepat tercapai.
Sebagai guru, kita harus terus belajar, menambah pengalaman, bahkan berguru ke pesantren. Sebab, bagaimana bisa menjadi ustadz yang baik kalau tidak pernah mendalami dan mempraktikkannya?
Mari jadikan guru bukan hanya pengajar, tetapi juga ustadz yang menuntun murid menuju ilmu, akhlak, dan kebahagiaan dunia-akhirat.
Komentar