Masyarakat yang Literat: Budaya Membaca, Membawa Buku, dan Menulis untuk Mengabadikan Hidup
Masyarakat yang literat bukanlah mereka yang sekadar bisa membaca dan menulis. Literasi adalah kebiasaan, gaya hidup, bahkan napas dari peradaban yang terus bergerak. Di tengah dunia yang serba cepat dan bising ini, masyarakat yang literat tampil sebagai komunitas yang tekun membaca, gemar membawa buku, dan akhirnya menulis bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk mengabadikan hidup.
Membawa Buku: Kebiasaan yang Mengakar
Dalam masyarakat yang literat, membawa buku ke mana pun pergi adalah hal biasa. Di taman, di halte, di kereta, atau di warung kopi buku selalu ada di tangan. Buku bukan beban, melainkan teman. Bahkan seperti halnya petani yang membawa cangkul dan prajurit yang membawa senjata, pelajar dan orang yang ingin berkembang selalu membawa buku.
Kebiasaan membawa buku ini bukan soal gaya. Ia adalah simbol bahwa pikiran kita selalu terbuka dan siap menerima pengetahuan baru. Dalam masyarakat seperti ini, tidak ada waktu yang benar-benar terbuang, karena selalu ada halaman yang bisa dibaca.
Membaca Di Mana Saja: Menyerap Makna Kehidupan
Masyarakat yang literat tidak menunggu suasana tenang atau ruang yang sempurna untuk membaca. Mereka membaca di mana pun dan kapan pun, karena membaca adalah kebutuhan, bukan sekadar hobi.
Dari bacaan, mereka menangkap arah zaman. Mereka membaca bukan untuk mengikuti tren, tetapi untuk memahami dunia dan dirinya sendiri. Buku bukan pelarian, tetapi lentera. Ia memberi cahaya, terutama di saat dunia diliputi keraguan dan kebingungan.
Menulis: Mengabadikan Hidup
Dari membaca yang mendalam, tumbuhlah dorongan untuk menulis. Dalam masyarakat yang literat, menulis bukan monopoli para akademisi. Setiap orang merasa perlu menulis, karena mereka sadar: hidup yang tidak ditulis akan segera dilupakan.
Menulis bukan sekadar menuangkan kata. Menulis adalah upaya merekam sejarah, menggenggam kebenaran, dan mewariskan makna. Mereka sadar bahwa suara bisa hilang, wajah bisa berubah, tetapi tulisan akan tetap abadi. Bahkan lebih dari itu tulisan, dengan segala daya naratifnya, bisa memonopoli kebenaran.
“Siapa yang menguasai tulisan, dia bisa mengatur narasi. Dan siapa yang mengatur narasi, dia bisa mempengaruhi arah sejarah.”
Menuju Peradaban Literasi
Masyarakat yang literat bukan masyarakat utopia. Ia bisa dimulai dari lingkungan terkecil: keluarga, sekolah, kantor, komunitas. Cukup dengan satu langkah kecil: membawa buku, membaca, dan mulai menulis, kita sedang membangun masa depan yang lebih bijak.
“Tulisan mungkin tidak bisa mengubah dunia dalam semalam, tetapi ia bisa menanam benih perubahan yang akan hidup selama-lamanya.”
Jadilah bagian dari masyarakat yang literat. Bawa buku, baca di mana saja, dan tulislah hidupmu agar sejarah tahu bahwa kamu pernah hidup dan berpikir.

Komentar