Menjadi Tonggak Sejarah Rekam Jejak Literasi di Jawa Timur
Magetan kembali menorehkan sejarah baru dalam dunia literasi. Di tengah sejuknya udara kaki Gunung Lawu bagian timur, tepatnya di Kecamatan Plaosan, berdiri megah sebuah gedung bernama Graha Pusat Literasi Magetan. Gedung ini bukan hanya simbol fisik semata, tetapi juga penanda nyata bahwa geliat literasi di Magetan terus hidup dan berkembang.
Salah satu alasan utama berdirinya gedung ini adalah keberhasilan para pegiat literasi terutama para guru di Magetan dalam menerbitkan lebih dari 450 buku ber-ISBN. Sebuah pencapaian yang luar biasa dan patut dibanggakan. Atas prestasi tersebut, Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (Arpusnas), Bapak Syarif Bando, memberikan apresiasi tinggi berupa penghargaan gedung literasi.
Gedung ini juga merupakan perwujudan mimpi besar: menjadikan Magetan sebagai "Ubud Writer" di kawasan Jawa Timur. Sebuah impian yang ingin menjadikan kota kecil yang dingin ini sebagai rumah dan tempat lahirnya para penulis hebat, seperti halnya Ubud di Bali yang telah melahirkan banyak karya-karya sastra dunia.
Salah satu penggerak literasi yang tak boleh dilupakan adalah kelompok Hujan Buku. Kelompok ini dimotori oleh para guru dan tokoh pendidikan, dengan Edy Siswanto sebagai penggagas utama. Hujan Buku hadir dengan semangat membara untuk menciptakan ekosistem literasi yang sehat, aktif, dan produktif di Magetan. Harapannya, sebanyak mungkin buku lahir dari tangan-tangan kreatif masyarakat, meskipun bagi sebagian orang ini terdengar seperti mimpi di siang bolong.
Didukung oleh komunitas Telaga Ilmu, hasil karya dari anak-anak Magetan—yang dikenal dengan sebutan Bukam (Buku Karya Anak Magetan)—kini mulai mengisi berbagai pojok baca di instansi-instansi pemerintah, sekolah, dan ruang publik lainnya. Ini adalah langkah konkret untuk menyebarkan semangat membaca dan menulis ke seluruh pelosok daerah.
Namun, di balik semangat dan pencapaian tersebut, masih terasa kurangnya apresiasi dari masyarakat luas. Banyak karya lahir, banyak acara digelar, namun dukungan dan perhatian terhadap dunia literasi masih perlu ditingkatkan.
Gedung Graha Pusat Literasi Magetan ini atas inisiatif dari ketiga tokoh utama yaitu telaga Ilmu, beliau bapak Bupati Magetan dan Kepala Arpusnas. Mimpi untuk mewujudkan Ubud Writer di Jawa Timur ternyata berhasil yang dibangun dengan anggaran sebesar Rp10 miliar di atas lahan seluas 1,5 hektar, kini menjadi simbol harapan baru.
Semoga ke depannya, gedung ini tidak hanya berdiri megah, tetapi juga benar-benar menjadi pusat berkumpulnya para penulis, penggerak literasi, dan pencinta buku. Seperti halnya mimpi utamanya: menjadi rumah bagi para "kuli tinta" yang mencari inspirasi di antara embun pagi dan dinginnya udara Plaosan.



Komentar